Sabtu, 26 Maret 2011

'King's Speech': Ketika Gagap Jadi Masalah Negara


Kelemahan fisik acap dijadikan bahan tertawaan atau disembunyikan, apalagi jika tokoh besar yang mengalaminya. Tapi 'King's Speech' malah mengangkatnya, lewat sosok Raja George VI, sang raja Inggris, ayah dari Ratu Elizabeth II.

            Bersama dengan dua film biopik lainnya, yakni 'Social Network' dan 'The Fighter', 'King Speech's adalah nominasi film terbaik Academy Awards tahun ini. Ketiganya punya sudut pandang yang menarik. Dari catatan pengadilan, dari hubungan keluarga disfungsi, dan...dari sebuah kelemahan fisik.

            Collin Firth berperan sebagai Bertie alias Pengeran Albert, Duke of York, putra kedua Raja George V, yang lantas menjadi Sang Raja. Dan, Geoffrey Rush sebagai Lionel Logue sang terapis yang memakai metode "baru" dan ingin disejajarkan dengan Bertie. Keduanya beradu akting tingkat tinggi yang sepertinya bakal mendapatkan Oscar, seperti ramalan Roger Ebert. Pun dengan Helena Bonham Carter, sang Ratu Elizabeth I.

            Karena ini adalah biografi tokoh terkenal, tentu semua tersaji di buku-buku sejarah atau biografi. Tapi, karena sudut pandang penceritaan dan cara bertuturnya unik, maka kita pun, baik yang akrab atau tidak dengan kisahnya, menjadi terhanyut dengan persahabatan antara (waktu itu) sang Pangeran dengan sang terapis. Firth dan Rush bermain sangat natural dan larut ke dalam peran, hingga mampu mentransfer emosi ke penonton.

            Lihat saja betapa canggungnya Lionel saat didatangi sang Raja untuk pertama kalinya. Atau, lihat bagaimana latihan olah omongnya yang penuh dengan perdebatan dan kadang jenaka (dengan nyanyian, misalnya, atau makian). Dan 118 menit pun tak terasa. Inilah kehebatan duo sutradara  Tom Hooper (sutradara terbaik Directors Guild Award 2011) dan penulis scenario David Seidler. Maka tak heran banyak orang menjagokannya memenangkan Oscar

            Film ini berkisah tentang Raja George dari sewaktu menjadi pangeran. Ia gagap ketika berkata-kata, dan hendak mengobatinya. Apalagi, kemudian, ia dinobatkan menjadi raja. Alangkah celanya kalau sang raja tergagap-gagap membacakan pidato kenegaraan, khususnya kala di ambang perang dunia dengan Hitler.

            Yang menarik adalah hubungan antara kerajaan, politik, dan perkembangan teknologi. Dan ini juga turut memperkuat unsur ketegangan. Saat masih menjadi pangeran, hanya ada gramofon dan alat rekam. Ketika abangnya menjadi raja, sudah ada teknologi siaran langsung radio BBC. Dan kala ia jadi raja, tidak hanya radio, tapi juga kamera televisi dan film yang bisa merekam dan siaran langsung.

            "Jaman sudah berubah," ujar Raja George V, sang ayah. "Dulu raja dan keluarganya cukup berdiri dan tersenyum. Kini, kita harus masuk ke dalam setiap rumah, menyapa setiap warga, melalu teknologi." Begitu kurang lebih nasihatnya pada putra keduanya yang berjuang melawan kegagapannya.

            Tentu saja kalau dikaitkan dengan "fakta sejarah", film ini menimbulkan banyak pertanyaan. Misalnya, soal posisi Winston Churchill. Tapi, tentu sang sutradara sudah memilih dan memilah data dan bahan mana yang memperkuat sudut pandang, dan argumennya. Bagaimanapun, film "hanyalah" representasi, dan bukan refleksi, dari kenyataan.

sumber : movie.detikhot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar