Senin, 11 April 2011

Film '?': Kotbah Pluralisme yang Terlalu Ngotot

Salah seorang pemuka fiksi Islam, Asma Nadia yang belakangan juga menulis skenario film, hari-hari ini disibukkan dengan Twitter-nya. Banyak yang bertanya kepadanya, kenapa sebagai muslim ia bisa "berbesar hati" menerima "paham pluralisme" yang diusung Hanung Bramantyo dalam film terbarunya, '?' (Tanda Tanya).

Pada bagian lain, lewat media yang sama, tak sedikit yang mengungkapkan keheranannya terhadap sikap Ketua MUI Cholil Ridwan terhadap film tersebut. Cholil menganggap film itu sesat karena "aroma pluralisme agama sangat menyengat dalam film ini". Lho, "mempromosikan" pluralisme kok sesat?



Dari awal, lewat berbagai pernyataan pers, film '?' memang dipromosikan sebagai film yang mengusung tema perbedaan dan toleransi dalam beragama. Mudah ditebak, film ini berangkat dari kegelisan, yang mungkin dirasakan banyak orang, mengenai kondisi kehidupan beragama di Indonesia akhir-akhir ini.

Hanung menempatkan dirinya sebagai orang yang punya sebagian pengalaman tersebut, dan merasa harus menyampaikan sesuatu dengan media yang ia kuasai. Mudah ditebak juga, film dengan tema seperti itu sudah pasti menjadi kontroversi. Sebab, para jurus bicara pluralisme itu selalu bicara seolah-olah pluralisme adalah tema sejuta umat yang secara otomatis dan serta merta seharusnya bisa diterima semua pihak.

Dibuka dengan tulisan yang menerangkan bahwa film ini berdasarkan kejadian yang sesungguhnya, cerita diawali dengan adegan penusukan seorang pastur di depan gerja. Lalu, kita diperkenalkan dengan  tokoh-tokoh yang menarik: seorang perempuan yang pindah agama setelah cerai dari suaminya yang poligami (diperankan dengan bagus oleh Endhita), dan seorang istri yang santun lembut solehah, berjilbab, bekerja di sebuah restauran babi milik pasangan suami-istri Tionghoa (diperankan dengan bagus oleh Revalina S Temat).

Restauran itu terletak di sebuah kampung, berdampingan dengan masjid dan gereja. Di kampung itu ada seorang aktor bokek yang diusir dari kosnya, lalu tinggal di masjid. Di masjid itu ada ustad yang sangat moderat. Lalu, semua tokoh itu dihubungkan dalam harmoni masyarakat sebuah kampung yang hidup dalam lapisan-lapisan prasangka. Dari prasangka agama hingga prasangka etnis.

Dari awal Hanung terasa agak ngotot mengejar "tesis" yang telah ia siapkan: bahwa ada kondisi memprihatinkan di masyarakat tentang bagaimana orang-orang yang berbeda agama (dan etnis) hidup berdampingan. Kengototan itu melairkan sejumlah adegan yang terasa berlebihan dan tak wajar. Misalnya, ketika anak lelaki pemilik restauran babi itu sedang berjalan dan berpapasan dengan sekelompok pemuda masjid. Remaja-remaja bersarung itu meledek, 'sipit!' dan dibalas, 'teroris, asu!' dan mereka pun berkelahi.

Pada bagian lain, digambarkan sosok pemilik restauran babi (diperankan dengan bagus oleh Henky Solaiman dan istrinya beneran) sebagai orang yang sangat toleran, selalu mengingatkan pegawainya yang berjilbab agar tak lupa salat. Lalu, kita menyaksikan kontras yang menyenangkan: kepala babi di atas meja, dan perempuan salat di dekatnya. Kontras-kontras semacam itu bertebaran di sepanjang film, tampil dalam gambar-gambar yang elok, dan menjadi kekuatan utama film ini.

Sementara, dari segi cerita, Hanung tampak agak kebingungan untuk mengurai skenario yang ditulis Titien Wattimena, karena begitu banyak tokoh, begitu banyak cerita, ide, gagasan, pesan yang ingin disampaikan. Pada akhirnya tiap tokoh dengan kehidupannya masing-masing, lebih tampil sebagai sketsa, dan film ini adalah kumpulan sketsa yang dibingkai dan disatukan untuk menyampaikan pesan tertentu yang sejak awal ingin dikejar.

Sketsa tentang perempuan berjilbab yang kerja di restauran babi sungguh kuat. Ia punya konflik dengan anak bosnya yang tampan (diperankan dengan bagus oleh Rio Dewanto), dan di rumah harus menghadapi suaminya yang menganggur, merasa tidak berharga sebagai laki-laki, dan putus asa (diperankan dengan bagus oleh Reza Hahardian). Si suami akhirnya mendapat pekerjaan namun berakhir tragis.

Sketsa seniman bokek (diperankan dengan sangat ciamik oleh Agus Kuncoro) bikin kita ikut merasakan pahit-getir, tawa-tangis yang ia rasakan. Sketsa ibu yang masuk Katholik dan harus menghadapi anaknya yang selau bilang 'ibu berubah!' juga menyentuh.

Namun, sketsa-sektsa itu terlalu "besar" untuk dirangkum jadi satu. Hanung memang cukup berhasil menjahitnya, menghubungkan tokoh-tokohnya dalam jalinan yang wajar. Namun, dengan berjejal-jejalnya unsur-unsur itu, pendalaman pada perkembangan masing-masing tokoh menjadi terkorbankan.

Anak si pemilik restauran sejak awal tidak jelas. Dia penganggur, wara-wiri saja di rumah, digambarlkan sebagai anak bengal yang melawan orangtua, tapi sebenarnya tak punya problem apa-apa, hingga akhirnya "sadar", baik pada bapaknya, membantu mengelola restauran dan seterusnya. Sampai akhirnya ia menemukan "perannya" ketika kemudian mengubah trasidi ayahnya dalam menjalankan bisnis, dan merusak hubungan antara restuaran dengan orang-orang kampung.

Si ibu yang pindah agama digambarkan menghadapi tekanan, tapi tidak ada satu adegan pun yang menggambarkan itu, semua dijelaskan lewat dialog. Si anak juga menghadapi bully dari teman-temannya, namun lagi-lagi sayang seribu sayang, tidak diungkapkan dengan adegan, hanya dengan dialog. Film ini seperti tidak sabar untuk segera menyampaikan pesannya, sehingga malas membangun pijakan-pijakan yang kuat untuk mengikuti perkembangan tokoh-tokohnya. Sebagian tokoh berubah dengan sangat cepat.

Ide besar, pesan moral yang mulia, pada akhirnya memang menjadi beban bagi film ini. Penyampaikan pesan-pesan secara verbal, okelah, kalau memang mungkin tak terhindarkan. Tapi, kesan 'ngotot' yang mestinya bisa dihindari, menjadi cukup mengganggu. Apalagi dengan ditambah kutipan 3 ayat (dari Islam, Kristen dan Budha) di bagian akhir film, maka lengkaplah sudah film ini menjadi kotbah. Hanung seperti tak percaya dengan keindahan gambar-gambarnya sendiri.

sumber : movie.detikhot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar